BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sebagian besar wilayah Asia Tenggara
mendapat pengaruh yang kuat dari India. Namun, tidak begitu dengan suku yang
menempati wilayah Sulawesi Selatan ini. Suku yang dikenal sangat piawai
mengarungi lautan ini awalnya sangat menentang asimilasi budaya luar. Pengaruh
India hanya terdapat dalam tulisan lontara berdasarkan skrip Brahmi. Tulisan
lontara ini dibawa ke wilayah Sulawesi melalui jalur dagang oleh para pedagang
dari India.
Dalam budaya suku bugis terdapat konsep ade’
atau adat dan konsep spritualitas. Konsep adat menjadi tema utama dalam
catatan-catatan mengenai hukum. Bahkan, terdapat dalam sejarah orang Bugis.
Masyarakat tradisional suku Bugis mengacu
kepada konsep pang’ade’reng atau adat istiadat berupa norma yang
saling terkait satu sama lain.
Kehidupan sehari-hari masyarakat Bugis
sangat memperhatikan adat istiadat, misalnya memperhatikan hubungan harmonis
antarsesama manusia. Hal-hal tersebut dapat dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari, seperti mengucapkan tabe’ yang artinya permisi.
Ucapan ini dilakukan dengan posisi badan
membungkuk setengah badan. Ucapan tabe' dilakukan saat lewat di depan
sekelompok orang-orang yang lebih tua. Kemudian, mengucapkan iye’ atau
jawaban iya yang halus dan ramah. Selain itu, diajarkan pula untuk
menghargai orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih muda.
Masyarakat Bugis merupakan masyarakat yang
sarat dengan prinsip dan nilai-nilai adat dan ajaran agama di dalam menjalankan
kehidupan mereka. Mereka yang mampu memegang teguh prinsip-prinsip tersebut
adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang dapat memberikan keteladanan
dan membawa norma dan aturan social.
Namun melihat perkembangan zaman yang
semakin lama semakin maju,generasi muda khususnya suku Bugis seakan – akan
melupakan adat istiadat dan kebudayaan yang telah membesarkan nama mereka.
Melihat hal itu, maka penulis sebagai
generasi asli suku Bugis merasa terpanggil untuk kembali menghidupkan
kebudayaan yang telah lama terabaikan dari pandangan masyarakat luas.
1.2 Rumusan Masalah
Ø
Bagaimanakah adat pernikahan di Wajo?
Ø
Ritual apa sajakah yang ada dalam pernikahan di
Wajo?
Ø
Apakah perbedaan ritual pernikahan di kab Wajo
dengan ritual pernikahan di kab. Selayar Sulawesi Selatan?
1.3 Tujuan Penulisan
Ø
Untuk mengetahui bagaimana adat pernikahan di
Wajo
Ø
Untuk mengetahui ritual – ritual yang ada pada
prosesi pernikahan di Wajo
Ø
Untuk mengetahui perbedaan ritual pernikahan di
kab. Wajo dengan ritual pernikahan yang ada di kab. Selayar Sulawesi Selatan
1.4 Manfaat Penulisan
Ø
Khusus
Dari pembuatan Karya Ilmiah Remaja ini,
penulis dapat memperoleh pengetahuan yang lebih luas dan mendalam tentang adat
pernikahan yang ada di Wajo yang menjadi tanah kelahiran penulis.
Ø
U mum
Dari pembuatan Karya Ilmiah Remaja ini, penulis
berharap masyarakat yang tinggal di daerah Wajo lebih menghargai kebudayaan
mereka dengan mengetahui apa yang sebenarnya menjadi adat istiadat di daerah
yang telah membesarkan nama mereka.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Gambaran Umum Tanah Wajo
Kabupaten
Wajo merupakan salah satu kabupaten di propinsi Sulawesi Selatan. Ibukotanya
Sengkang, sekitar 242 km dari kota Makassar (Ibukota Propinsi Sulawesi
Selatan), dapat ditempuh sekitar 4 jam dengan menggunakan mobil. Dari kota
Parepare, pusat kawasan pengembangan ekonomi terpadu di propinsi Sulawesi
Selatan, sekitar 87 km.
Wajo yang luas wilayahnya 250.619 hektar,
terbagi atas 14 kecamatan, 48 kelurahan dan 128 desa, memiliki potensi sumber
daya alam yang besar.
Karakteristik potensi alam
Wajo, seperti diungkapkan oleh Arung Matoa Wajo, La Tadampare Puang Ri
Maggalatung (1491-1521) : mangkalungu ri bulu'E, massulappe ripottanangngE ma
matodang ritasi'E, ri tapparengngE. Artinya : daerah ini merupakan negeri yang
subur dan nyaman. Ibarat seseorang yang tidur, maka ia berbantalkan gunung dan
hutan, memeluk lembah, dan kakinya menyentuh danau atau air laut.
Ungkapan cendikiawan Wajo di abad ke-15
itu memang bukan syair khayalan, namun merupakan suatu kenyataan yang hingga
kini menjadi potensi andalan Kabupaten Wajo. Hamparan lahan persawahan yang ada
di daerah ini sekitar 86.000 hektar. Baru sekitar 20 persen yang terjangkau
irigasi teknis. Jika areal persawahan ini rata-rata menghasilkan empat ton padi
setiap tahunnya, berarti Kabupaten Wajo menghasilkan 334.00 ton padi setiap
tahun. Suatu jumlah yang cukup fantastik.
Pada tanah berbukit yang berjejer mulai
dari kecamatan Tempe ke Utara – Kecamatan Maniangpajo, Kecamatan Keera dan
Pitumpanua, kini merupakan wilayah hutan tanaman industri, perkebunan coklat,
cengkeh, jambu mete serta pengembangan ternak. Secara keseluruhan potensi
perkebunan di Kabupaten Wajo seluas lebih 38.000 hektar, diantaranya telah
dikelola sekitar 28.000 hektar. Setiap tahun telah menghasilkan produksi
ratusan hingga ribuan ton berbagai jenis komoditas ekspor seperti : cengkeh,
kakao, dan kelapa hybrida.
Padang rumput/alang-alang seluas 34.000 hektar merupakan lahan pengembalaan ternak besar dan kecil yang populasinya kini telah mencapai puluhan ribu ekor. Belum lagi ternak unggas berupa ayam ras, itik, dan ayam buras yang populasinya sudah melebihi jutaan ekor.
Padang rumput/alang-alang seluas 34.000 hektar merupakan lahan pengembalaan ternak besar dan kecil yang populasinya kini telah mencapai puluhan ribu ekor. Belum lagi ternak unggas berupa ayam ras, itik, dan ayam buras yang populasinya sudah melebihi jutaan ekor.
Di pesisir pantai Timur terhampar lahan
pertambakan sekitar 15.000 hektar. Masih sebagian kecil yang dikelola secara
teknis, tapi telah memproduksi puluhan ribu ton udang dan ikan bandeng setiap
tahunnya. Garis pantai Teluk Bone yang membentang sekitar 110 km, memiliki
potensi ikan laut yang tidak kecil. Termasuk budidaya rumput laut. Danau Tempe
yang luasnya 13.000 hektar, merupakan penghasil ikan air tawar terbesar di
dunia.
Struktur perekonomian Kabupaten Wajo
memang didominasi oleh sektor pertanian dengan kontribusi lebih dari 45 persen.
Menyusul sektor perdagangan, hotel dan restoran 19 persen, dan sektor pertambangan
penggalian 9 persen.
Pada tahun 1997 saat kondisi perekonomian
nasional mulai mengalami krisis, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Wajo juga
terkena dampak sehingga terpuruk menjadi minus 6,66 persen. Namun setahun
kemudian, terutama setelah penambangan gas bumi Gilireng mulai berproduksi,
pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Wajo kembali membaik dalam posisi pertumbuhan
6,06 persen. Kondisi itu bertahan hingga tahun 1999.
Pendapatan perkapita masyarakat Wajo pun
telah berada pada posisi Rp. 3,5 juta pertahun. Bahkan dalam musim haji tahun
2000 terjadi peningkatan jumlah calon haji asal Kabupaten Wajo lebih dari 100
persen. Tahun 1999 cuma 1.400 orang, pada musim haji tahun berikutnya 2.700
orang. Mereka sebagian besar petani.
2.2
Jati Diri Anak Wajo
Hampir tak ada negeri yang tidak didatangi
orang Wajo. Sampai ke ujung duniapun asalkan ada peluang bisnis dan iklim yang
menjamin kebebasan berusaha. Orang Wajo akan datang. Perumpamaan itu tak lain
untuk menunjukkan betapa sifat kewiraswastaan (interpreneurship) telah mendarah
daging pada setiap pribadi orang Wajo.Sifat ini dituntun pesan leluhur : aja
mumaelo natunai sekke, naburuki labo (jangan terhina oleh sifat kikir dan
hancur oleh sifat boros).
Berpegang pada Tellu Ampikalena To WajoE
(tiga prinsip hidup), tau'E ri DewataE, siri'E ri padatta rupatau, siri'E ri
watakkale (ketaqwaan kepada Allah SWT, rasa malu pad orang lain dan pada diri
sendiri), orang Wajo memiliki etos kerja, resopa natinulu natemmangingngi,
namalomo naletei pammase Dewata Seuwae (hanya dengan kerja keras, rajin, dan
ulet, mendapat keridhaan Allah SWT)
Orang Wajo senantiasa mendambakan
terciptanya iklim kebebasan berdasarkan prinsip, Maradeka To WajoE, najajiang
alaena maradeka, napoada adanna, napobbicara bicaranna, napogau gaunna, ade
assemmaturesennami napopuang (Orang Wajo dilahirkan merdeka, bebas berekspresi,
bebas bicara, dan menyatakan pendapat, bebas berbuat, hanya hukum berlandaskan
permusyawaratan yang dipertuan).
Berpenduduk 400.000 jiwa, Wajo memiliki
potensi SDM yang handal. Apabila potensi ini berhasil dipadukan dan diberdayakan,
bisa dipastikan, masyarakat Wajo meraih kehidupan lebih baik di hari esok.
Penggalangan potensi akbar ini (termasuk orang Wajo yang berdiam di luar
daerah) bukan mustahil diwujudkan mengingat orang Wajo memiliki semangat
riassiwajori yang terkandung dalam prinsip kebersamaan, mali siparappe, rebba
sipatokkong, malilu sipakainge (hanyut saling menolong, jatuh saling membantu
untuk tegak kembali, khilaf saling mengingatkan).
Nilai-nilai yang tak ternilai harganya itu
patut dilestarikan dan dikembangkan. Atas prakarsa H. Dachlan Maulana, SE, MS,
Bupati Kepala Daerah Wajo periode 1993-1998 dicanangkan 'Gerakan Sejuta Wajo',
salah satu wujud pengamalan nilai-nilai ini. Pada masa bakti Drs. H. Naharuddin
Tinulu (Bupati Wajo 1999-2004), organisasi Kesatuan Masyarakat Wajo (KEMAWA)
yang diketuai Prof.Dr. H.A Husni Tanra, PhD, mendidirikan Yayasan Wajo Madani
yang berkiprah pada pengembangan SDM dengan mengamalkan semangat Riassiwajori.
Pelestarian dan nilai-nilai positif itu
membutuhkan wahana yang menjadi sumber motivasi. Momentumnya dipilih bertepatan
peringatan Hari Jadi Wajo. Waktu yang tepat tersebut dikaitkan dengan Hari Jadi
Wajo, yang hari 'H'-nya belum pernah disepakati. Di sinilah letak pentingnya
upaya penelusuran sejarah keberadaan Wajo yang digagaskan oleh Dachlan Maulana.
Penelusuran sejarah Wajo didukung tokoh masyarakat dan budayawan.
Pemerintah Kabupaten Wajo membentuk
Panitia Seminar Penelurusan Hari Jadi Wajo per SK Bupati Kepala Daerah Tingkat
II Wajo No. Sos/562/XII/W/1994 tanggal 22 Desember 1994. Panitia kemudian
menyelenggarakan Seminar Penelusuran Hari Jadi Wajo, 23 Januari 1995 di Ruang
Kantor BKDH Tingkat II Wajo.
Dalam seminar terungkap kemajuan Wajo,
terutama di bawah kepemimpinan Arung Matoa (Presiden), yaitu
1. La Tadampare Puangrimaggalatung
2. Petta Latiringeng To Taba Arung Simettengpola
3. La Mungkace Toaddamang
4. La Sangkuru Patau
5. La Salewangeng To Tenriruwa
6. La Maddukelleng
7. La Pariusi To Maddualeng
2. Petta Latiringeng To Taba Arung Simettengpola
3. La Mungkace Toaddamang
4. La Sangkuru Patau
5. La Salewangeng To Tenriruwa
6. La Maddukelleng
7. La Pariusi To Maddualeng
Seminar menyimpulkan sejarah kelahiran
Wajo dalam 6 (enam) versi, yaitu :
1. Puang Rilampulungeng
2. Puang Ritimpengeng
3. Cinnongtabi
4. Boli versi Kerajaan Cina
5. Masa ke-Batara-an
6. Masa ke-Arung Matoa-an
1. Puang Rilampulungeng
2. Puang Ritimpengeng
3. Cinnongtabi
4. Boli versi Kerajaan Cina
5. Masa ke-Batara-an
6. Masa ke-Arung Matoa-an
Peserta seminar sepakat untuk menetapkan
momentum Hari Jadi Wajo pada masa pelantikan Batara Wajo I La Tenri Bali, tahun
1399, dibawah sebuah pohon besar (Bajo). Tempat pelantikan Batara Wajo I ini
sampai sekarang masih ada, bernama Wajo – Wajo di daerah Tosora Kecamatan
Majauleng.
Tanggal 29 Maret dipilih sebagai hari 'H'
yakni peristiwa kemenangan pasukan Wajo dibawah kepemimpinan La Maddukelleng di
Lagosi terhadap pasukan Kompeni yang membantu Bone. Perang tersebut merupakan
simbol anti penjajahan. Keputusan seminar dikukuhkan melalui Surat Keputusan
DPRD Wajo No. 12/1995 tangal 7 Juli 1995.
Seminar hanyalah sebuaha kegiatan awal
dari sebuah usaha besar Orang Wajo menemukan jati dirinya. Pengembangan
nilai-nilai itu diharapkan kelak bisa berhasil menjadi sumber motivasi bagi
orang Wajo untuk menemukan jati dirinya.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian
Peneletian
yang bertujuan untuk mengetahui adat istiadat dan ritual pernikahan di Wajo
dilaksanakan di daerah kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo. Mulai tanggal 28
Februari 2011 sampai tanggal 7 Maret 2011.
3.2
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan dan alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah buku panduan, buku identifikasi, daftar petanyaan, alat
tulis menulis dan tanda pengenal penulis sebagai siswa SMA Negeri 2 Sengkang.
3.3
Metode
Dalam pembuatan Karya Ilmiah Remaja
ini, metode yang di gunakan adalah metode kajian pustaka dan metode wawancara.
Wawancara dilakukan dengan
masyarakat setempat untuk menggali informasi-informasi yang lebih mendalam lagi
tentang ritual pernikahan di Wajo.
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1 Adat Pernikahan di
Wajo
Suku
bugis yang mendiami daerah Wajo mayoritas beragama islam sehingga pernikahan
yang berlaku diatur oleh adat dan hukum islam. Oleh karena itu, pernikahan yang
dianggap sah oleh masyarakat Wajo adalah pernikahan yang sesuai dengan hukum
pernikahan agama islam, sedangkan tata cara pelaksanaannya harus berlandaskan
pada adat yang berlaku, tapi tidak menyalahi agama.
Pada
zaman dahulu, terdapat bermacam-macam upacara adat dan peralatan yang
digunakan sehingga dilihat begitu banyak
adat yang harus dilaksanakan. Namun dewasa ini, sudah banyak upacara adat yang
ditinggalkan dengan alasan menggunakan banyak biaya , tenaga, alat, serta
perlengkapan yang digunakan. Akhirnya banyak masyarakat yang meninggalkan adat
tersebut dengan alasan keefektivitasan dan keefisienan serta kemajuan teknologi
dalam segala bidang.
Upacara
pernikahan secara adat adalah segala kebiasaan segala kegiatan-kegiatan yang
telah disajikan dalam melaksanakan upacara pernikahan sesuai dengan kesepakatan
bersama yang dianggap lebih baik dalam suku Bugis. Upacara tersebut meliputi
segala upacara yang terdapat pada upacara sebelum dan sesudah akad nikah. Dan
setiap upacara memiliki nilai, waktu, serta peralatan yang khas dan memiliki
arti tersendiri.
Masyarakat
di Wajo, memiliki kebudayaan sebagai dasar dalam mengatur tata cara kehidupan.
Perbedaan yang prinsipil terdapat pada pelaksanaan setiap upacara pernikahan
dari satu daerah ke daerah lain. Misalnya upacara ipadduppai pada daerah Sidrap dan sekitarnya merupakan salah satu
upacara ajad nikah. Acara ini dijalankan oleh orang yang berpengalaman dalam
pelaksanaan pernikahan. Upacara ini tidak akan ditemukan di daerah Wajo dan
sekitarnya karena upacara ini adalah upacara khas masyarakat Sidrap.
Dan
di daerah Wajo juga memiliki upacara / ritual khas, seperti acara Jai Kamma
yaitu salah satu upacara dimana sepasang mempelai dipakaikan satu sarung yang
kemudian dijahit ujungnya.
Ritual
pernikahan bagi masyarakat Wajo dipandang sangat sakral, religius dan sangat
dihargai. Oleh lembaga adat yang telah lama ada mengaturnya dengan cermat.
4.2 Ritual Dalam
Pernikahan di Wajo
Acara pernikahan di Wajo, dapat
dikatakan berbeda dari acara pernikahan di daerah-daerah lain. Bagaimana
tidak, tata cara pernikahan di Wajo kaya
akan tradisi dan adat istiadat yang sangat kental dengan hal-hal yang masih
sangat tradisional. Dalam pernikahan di Wajo, ritual yang dilaksanakan terdiri
dari beberapa rangkaian acara yang meliputi ritual sebelum akad nikah dan
ritual setelah akad nikah.
A.
Ritual Sebelum Akad Nikah
Ritual Manre Lebbe
Manre
Lebbe atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Khatam
Al-Quran adalah salah satu ritual yang dilakukan pada saat malam Tudang Penni . Dalam ritual ini, di
depan calon pengantin diletakkan Sokko (panganan
dari beras ketan) dan telur.
Kemudian calon pengantin melakukan prosesi Manre Lebbe. Dalam prosesi ini, calon
pengantin mengikuti lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang dilantunkan oleh guru
mengaji calon pengantin semasa kecil. Hal yang sedikit berbeda pada ritual ini
yaitu pada saat mengaji, calon pengantin menggunakan batang Kayu Manis untuk
menunjuk lafads Al-Quran yang dibaca oleh sang guru.
Ritual Manre Lebbe ini, tidak terlalu umum
bagi calon pengantin. Berbeda dengan ritual
Mappacci. Ritual Manre Lebbe ini hanya dilakukan bagi
calon pengantin yang belum melaksanakan ritual ini sebelumnya. Karena ritual Manre Lebbe ini bisa saja dilakukan di
luar acara pernikahan. Bahkan di Wajo, ritual Manre Lebbe dapat dirayakan
secara menkhusus.
Dan
pada saat ritual Manre Lebbe telah
selesai dilaksanakan, maka acara tudang
penni dilanjutkan dengan ritual Mappacci
.
Ritual Mappacci
Mappacci
merupakan
salah satu ritual adat Bugis yang dilakukan sebelum acara akad nikah
dilaksanakan keesokan harinya. Kalau diartikan ke bahasa Indonesia Mappacci itu artinya membersihkan diri.
Baik itu membersihkan diri secara jasmani maupun secara rohani. Sejarah Mappacci
dulunya dilaksanakan pertama kali oleh raja-raja Bone yang akan melangsungkan
pesta pernikahan untuk membersihkan diri dan melepas masa lajang mereka dan
kini sudah menjadi adat istiadat bagi masyarakat di Wajo. Bila kita mencari
dasar hukum dari Mappacci di dalam
Al-Qur’an maupun Hadist tidak ada terdapat didalamnya sehingga Mappacci ini sifatnya bukan wajib juga bukan sunnah.
Jika bukan sesuatu yang wajib dan sunnah jadi mubah yah kayaknya tapi tidak
sampai bersifat haram. Adapun perlengkapan-perlengkapan yang disiapkan untuk
ritual Mappacci memiliki makna
tersendiri namun yang paling utama itu ketersediaan daun pacci yang akan
digunakan nanti baik yang telah dihaluskan maupun yang masih dalam bentuk
ranting-ranting kecil sebagai penghias. Perlengkapan lainnya seperti :
Ø Tai
bani, lilin yang disimbolkan sebagai penerang,
Ø Beras
yang telah di sangrai yang memiliki makna berkembang dengan baik,
Ø Bantal
yang memiliki simbol kehormatan,
Ø Diatas
bantal diletakkan sarung sutera yang dilipat segitiga dan berjumlah 7, kadang
juga sampai 11 lembar. Menurut kepercayaan bugis Bone angka sebelas merupakan
angka keberuntungan.
Ø Di
atas sarung diletakkan pucuk daun pisang sebagai simbol kehidupan. Tumbuhan
pisang merupakan tumbuhan yang selalu tumbuh dan berkembiang biak secara terus
menerus.
Ø Di
atas pucuk daun pisang diletakkan pula daun nangka sebanyak 7 atau 9 lembar
sebagai simbol harapan.
Ø Kelapa
yang memliki makna serba guna. Kelapa merupakan tumbuhan yang setiap anggota
tumbuhan dapat dimanfaatkan.
Ø Gula
merah yang memiliki symbol harapan agar kelak pengantin dapat hidup harmonis
Dalam upacara Mappacci, tamu undangan yang biasanya
melakukan pembersihan adalah anggota keluarga terdekat calon pengantin dan
tokoh masyarakat yang terkenal di daerah tempat tinggal calon pengantin. Dan
upacara Mappacci ini biasanya
dilaksanakan pada malam hari, atau yang lebih di kenal dengan istilah Malam Tudang Penni.
B. Prosesi
Akad Nikah
Orang yang melakukan akad nikah adalah
bapak atau wali calon mempelai wanita atau iman kampung atau seseorang yang
ditunjuk oleh Departemen Agama, seorang saksi dari pihak wanita dan pria.
Pada saat acara akad nikah, calon
mempelai laki-laki duduk dengan ibu jari. Sedangkan untuk kalangan bangsawan,
calon mempelai laki-laki duduk bersila di atas pangkuan Ambo Botting.
C. Ritual
Setelah Akad Nikah
Ritual
Mappasikarawa
Ritual
Mappasikarawa dilakukan pada
saat akad nikah telah selesai
dilaksanakan. Ritual Mappasikarawa sebagai
sentuhan yang pertama bagi sang laki-laki kepada istrinya. Sentuhan ini
diharuskan menyentuh bagian tubuh istrinya, bagian yang harus disentuh yaitu :
*
Ubun-ubun, agar laki-laki tidak
diperintah istrinya.
*
Bagian atas dada, agar kehidupan rumah
tangga mereka kelak dapat diberkahi dengan rezky yang banyak.
*
Jabat tangan atau ibu jari, artinya
suami isri senangtiasa mengisi kekosongan satu sama lain.
Setelah upacara ini, pengantin
laki-laki duduk di samping istrinya untuk mengikuti acara Maloange Lipa. Keluarga dari pihak perempuan melilitkan kain Widang kepada pengantin sehingga kedua
pengantin berada dalam satu sarung, kemudian pinggiran sarung saling
dipertemukan lalu dijahit tiga kali dengan benang emas atau dalam bahasa Bugis
dikenal dengan istilah Genggang atau
benang biasa yang bagian ujungnya tidak disimpul layaknya benang yang dipakai
menjahit. Kemudian pengantin bersamaan berdiri dan melepas jahitan sarung
tersebut.
Ritual ini bermakna agar kedua
mempelai dapat hidup seia-sekata, bersatu padu melawan segala rintangan yang
akan menjumpai mereka di masa depan nantinya.
Upacara berikutnya adalah acara
memohon maaf kepada kedua orang tua pengantin dan keluarga dekat. Selesaii
memohon maaf, pengantin kemudian diantar ke pelaminan untuk bersanding.
4.3
Perbedaan Ritual Pernikahan di kab. Wajo dengan kab. Selayar
Adat
istiadat memang dapat dikatakan sebagai warisan leluhur yang tidak pernah ada habisnya.
Namu adat istiadat yang kita miliki tentu berbeda dengan adat istiadat di
daerah lain. Hal inilah yang menjadikan daerah kita kaya akan ciri khas
masing-masing. Sama halnya dengan adat pernikahan di Wajo, adat pernikahan di
daerah ini memiliki banyak sekali perbedaan di daerah lain walaupun berada
dalam lingkup yang sama. Contoh kecil dapat kita lihat orang-orang
Bajo di Pulau Rajuni, dan pulau-pulau di kawasan Taka Bonerate, Kabupaten
Selayar, Sulawesi Selatan, punya tradisi unik dalam melaksanakan pesta
perkawinan.
Ritual
tersebut ketika serombongan lelaki yang memanggul miniatur rumah panggung yang
terbuat dari bambu sudah tampak di depan halaman rumah. Dengan diiringi
gadis-gadis di barisan belakang, mereka sedang mengantarkan erang-erang
(secara harafiah bisa diartikan sebagai barang bawaan) dari calon pengantin
pria kepada pengantin wanitanya.
Orang
Bajo yang melaksanakan pesta perkawinan atau pesta lainnya seperti sunatan dan
syukuran, senantiasa melaksanakan beberapa ritual adat. Jika seseorang
mempunyai darah Bajo, ritual-ritual itu malah menjadi keharusan dalam setiap
pelaksanaan pesta.
Acara
perkawinan ini didahului dengan a’bantang (ritual tolak bala dan
pembersihan/pemberkatan) bagi calon pengantin. Lalu diadakan pemasangan kelambu
dan campaniga (hiasan tempat tidur pengantin), pengibaran bendera Lolo
Bajo dan Ula-Ula, serta pemukulan gandah (gendang). Ritual appacci
dan pemakaian lamming (hiasan rumah pengantin) yang diadopsi dari
tradisi Bugis-Makassar serta barasanji berupa lagu-lagu pujian bagi Nabi
Muhammad SAW juga melengkapi ritual hari itu. Tentu saja ‘budaya modern’
seperti hiburan musik elekton tidak pula ketinggalan.
Khusus
pengibaran bendera Lolo Bajo yang berwarna kuning, bergambar pedang dan
bertuliskan huruf Arab, dilakukan setelah pihak pengantin wanita menerima erang-erang
yang dibawa oleh pihak pengantin pria. Pengibaran Lolo Bajo ini diiringi oleh
lemparan beras putih oleh tetua adat (biasanya perempuan) dan alunan irama
gendang (gandah sanro, yang dalam tradisi Makassar disebut sebagai Tunrung
Pa’bballe).
Ada
bemacam-macam simbol ritual yang dipakai secara turun-temurun oleh masyarakat
Bajo yang tersebar di Rajuni, Latondu, Rajuni Besar, Tarupa, Pasitallu,
Kayuadi, dan pulau lainnya. Simbol-simbol ini menandakan ‘kelas’ dari keturunan
orang Bajo. Keturunan ningrat (Lolo Bajo) selain mengibarkan bendera Lolo Bajo,
juga akan menggerek ula-ula (sejenis umbul-umbul) yang berbentuk
menyerupai manusia (orang-orangan) dengan kepala atau tanpa kepala.
Bersamaan
dengan pengibaran bendera Lolo Bajo di pihak pengantin perempuan, di kediaman
pengantin pria dikibarkan pula bendera ula-ula dan pemasangan campaniga.
Biasanya pengibaran ula-ula dilakukan setelah rombongan kembali dari
mengantar belanja, karena pengibaran ini juga membutuhkan pelibatan pukulan
gendang sanro.
Konon
jika ada prosesi yang salah dalam pengibaran bendera Lolo Bajo dan ula-ula,
maka biasanya akan ada orang dari pihak keluarga atau pengunjung yang
kesurupan. Kejadian ini akan berakhir jika prosesi diulangi dan dibetulkan tata
caranya. Bendera Lolo Bajo dan ula-ula dikibarkan dengan seutas tali
nilon pada setangkai bambu. Simbol ini akan terpasang selama pesta dan prosesi
pesta perkawinan berlangsung, biasanya hingga 10 hari.
Gendang
sanro yang mengiringi pengibaran itu dibawakan oleh dua pemukul gendang,
seorang pemukul gong dan seorang lagi memukul sisi gong dengan setangkai kayu.
Biasanya iringan gendang ini juga disertai pukulan gong-gong kecil, namun alat
ini sudah tidak ditemukan lagi.
Campaniga yang dipasang pada kelambu ranjang pengantin juga harus
dilengkapi dengan beberapa peralatan, seperti lilin merah dan dupa. Hampir tak
ada lagi tetua adat yang berperan khusus untuk itu saat ini. Peran ini kemudian
diambil alih oleh orang-orang tua yang disepakati oleh keluarga pengantin, dan
orang-orang dari pihak keluarga yang merupakan keturunan Lolo Bajo.
Setiap
harinya, mulai dari persiapan hingga akhir acara, pihak keluarga pengantin akan
menjamu makan setiap tamu yang datang. Makan pagi, siang dan malam hari, juga
dengan penganan kue serta minuman pada pagi dan sore hari. Tentunya prosesi ini
mahal ongkosnya, namun lebih menjadi simbol persatuan, kekeluargaan dan
gotong-royong masyarakat Bajo Taka Bonerate.
Dalam
pesta-pesta orang Bajo, biasanya ada menu khusus, yaitu daging ikan
lumba-lumba. Beberapa warga setempat mengaku masih bisa menangkap lumba-lumba
dengan tombak. Juga ada daging kima yang dijadikan sayur santan atau kari
bersama nangka muda dan kol. Namun saat ini sudah kurang dilakukan, mengingat
status biota laut tersebut yang dilindungi (endangered species).
Salah
satu rangkaian acara perkawinan yang kini sudah sangat jarang dilakukan adalah
pertunjukan pencak silat (manca’) dengan tangan kosong atau dengan badik
dan keris. Namun menurut pengakuan salah seorang pesilat, pemuda Bajo sekarang
ini sudah kurang berminat terhadap manca’, lebih sibuk mencari uang
dengan berlayar dan menangkap hasil laut. Sampai sekitar tahun 1980-an, acara
petunjukan manca’ masih biasa dilakukan. Dengan iringan gendang pamanca’,
para pesilat konon sering pula menampilkan pertunjukan mistis, seperti unjuk
kekebalan terhadap senjata tajam.
Namun
demikian, orang Bajo di Pulau Rajuni yang umumnya memeluk agama Islam dan
mengikuti tasawuf yang diajarkan mendiang Imam Rajuni KH Muhammad Said (wafat
tahun 1945), memang belum melupakan tradisi leluhurnya. Setidaknya, hal itu
tergambar dalam penyelenggaraan tata-cara pesta perkawinan
BAB
V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian dan pemaparan dari makalah di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan :
- Adat pernikahan di Wajo kaya akan tradisi dan adat istiadat yang sangat kental. Namun dari semua tradisi yang ada, itu semua tidak lepas dari hukum dan ketentuan dalam ajaran agama islam.
- Ritual pernikahan di Wajo terbagi atas beberapa tahap, yaitu ritual sebelum akad nikah dan ritual setelah akad nikah.
- Setiap daerah yang memiliki adat dan tradisi yang khas yang mencerminkan jati diri masing-masing daerah tersebut meskipun daerah tersebut berada dalam lingkup yang sama.
5.2
Saran
Berdasarkan hasil pemaparan yang
ada di atas, penulis menyarankan :
- Pemerintah setempat hendaknya lebih memperhatikan dan menjaga adat istiadat yang ada di daerah Wajo.
- Para generasi Wajo hendaknya lebih menggali dan menjunjung tinggi adat istiadat di Wajo dengan cara melestarikan dan tidak meninggalkan upacara-upacara kedaerahan yang menjadi adat di Wajo.
- Untuk perbaikan makalah selanjutnya, hendaknya penulis yang baru lebih memperluas bidang pengkajiannya agar budaya asli kita tidak terkubur oleh perkembangan zaman yang semakin lama semakin membuat generasi muda melupakan adat dan tradisi daerah yang telah membesarkan mereka.
sedikit referensi mengenal adat istiadat suku bugis wajo,, terimaksi
BalasHapuslumayan dapet pengetahuan lebih tentang pernikahan sulawesi selatan
BalasHapushttp://www.marketingkita.com/2017/08/Manajemen-Sumber-Daya-Manusia-Dalam-Ilmu-Marketing.html
How do I get to the gambling hall in New York City with
BalasHapusIf you go 먹튀 사이트 조회 to the Casino Hall at Trump bet365 es Taj Mahal Casino, moonpay you'll be in a max88 very convenient location. You can 아르고 캡쳐 check
Blackjack at a Casino in St. Louis - MapyRO
BalasHapusFind your perfect blackjack 태백 출장안마 game 상주 출장안마 at the 부산광역 출장샵 Best Casinos in St. Louis, including the best 김제 출장샵 casino bonuses, hotel stays, 서귀포 출장샵 restaurants, entertainment, and more.